Human Rights News
HRW Documents on East Timor FREE    Join the HRW Mailing List 
Peradilan Indonesia untuk Kasus Timor Timor : Suatu Upaya Menutupi Kesalahan?
(New York, 20 Desember 2002) Pengadilan Ad Hoc Indonesia untuk Timor Timor telah gagal total memproses secara adil para pelaku pelanggaran HAM Timor Timur tahun 1999, ungkap HRW dalam laporan yang dikeluarkan hari ini.


Related Material

Justice Denied for East Timor
HRW Backgrounder, December 20, 2002

Indonesia Verdict Confirms Justice Elusive for East Timor Crimes
HRW Press Release, August 15, 2002

East Timor: Special Panels for Serious Crimes
HRW Letter, August 6, 2002

East Timor Amnesty Bill Flawed
HRW Press Release, July 18, 2002



"Proses peradilan di Jakarta adalah suatu upaya menutupi kesalahan. Indonesia telah gagal dalam janjinya untuk menuntut pertanggungjawaban militer atas berbagai pelanggaran ham berat di Timor Timur."

Brad Adams, direktur eksekutif Divisi Asia Human Rights Watch


 
Sampai sekarang hanya 12 orang yang diadili di depan Pengadilan Ad Hoc untuk Timor Timur di Jakarta dan 10 diantaranya telah dibebaskan. Semua sembilan anggota polisi dan militer yang dituduh terlibat telah dibebaskan. Pengadilan hanya menjatuhkan hukuman terhadap dua orang; keduanya adalah orang Timor Timur.

"Proses peradilan di Jakarta adalah suatu upaya menutupi kesalahan," kata Brad Adams, direktur eksekutif Divisi Asia Human Rights Watch. "Indonesia telah gagal dalam janjinya untuk menuntut pertanggungjawaban militer atas berbagai pelanggaran ham berat di Timor Timur."

Sekjen PBB sebaiknya menunjuk seorang ahli untuk menyelidiki kegagalan pengadilan ad hoc tersebut, kata Human Rights Watch.

Dalam laporan setebal 13 halaman itu Human Rights Watch menekankan kewajiban PBB dan negara-negara anggotanya untuk memastikan adanya pertanggungjawaban hukum terhadap pelanggaran ham berat di tahun 1999 yang terjadi sesudah rakyat Timor Timur melakukan pemungutan suara untuk kemerdekaan yang ditangani langsung oleh PBB. Di tahun 2000 Sekjen PBB menyatakan untuk "memantau secara dekat" pengadilan di Indonesia untuk memastikan proses tersebut "kredibel dan sesuai dengan prinsip-prinsip internasional hak asasi manusia."

Laporan itu menguraikan tentang penolakan jaksa untuk memanggil para pimpinan senior seperti mantan Kepala Staff Angkatan Darat Jend. Wiranto yang dilaporkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai bertanggungjawab atas pelanggaran ham 1999. Presiden Megawati Sukarno Putri dalam suatu kesempatan pidatonya (Desember 2001) menyebut banyak pejabat tinggi militer yang terlibat di pelanggaran ham berat Timor Timur sebagai "pahlawan nasional" atas peran mereka dalam membela negara dan secara terbuka mendukung mereka untuk "menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya secara baik tanpa harus khawatir dengan pelanggaran hak asasi manusia."

"Para pejabat politik Indonesia telah menciptakan suatu lingkungan impunitas atas pengadilan ini," kata Adams. "Sekarang jelas bahwa para pejabat tinggi militer Indonesia yang bertanggungjawab atas pelanggaran ham tersebut akan hanya menjalani 'pengadilan formalitas' belaka. Beberapa pejabat militer Indonesia yang telah terlibat justru telah dipromosi untuk jabatan tertentu."

Meski para tersangka telah dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan, namun dakwaan pengadilan hanya menyebutkan bahwa mereka gagal untuk mengontrol bawahannya, bukan karena mereka sebenarnya yang merencanakan dan memerintahkan penyerangan itu sendiri.

Putusan pengadilan pada kasus-kasus yang lain akan diajukan dalam beberapa minggu ke depan. Sementara kewenangan pengadilan tersebut akan berakhir pada tanggal 3 Januari 2003. Salah satu kasus yang harus diputuskan diantaranya kasus Mayjen Adam Damiri, mantan Komandan KODAM Udayana yang telah dituduh bertanggungjawab atas dua kasus kejahatan kemanusiaan.

"Kami tidak merekomendasikan perpanjangan kewenangan pengadilan oleh karena prosesnya telah membuktikan ketidak-benaran yang fatal," kata Adams. "Kami mendesak PBB dan lembaga-lembaga donor untuk memikirkan cara lain untuk memperoleh keadilan sesuai dengan standar-standar internasional."

Human Rights Watch menghargai upaya-upaya proses serupa di Timor Timur, meski mengingatkan adanya kelemahan-kelemahan teknis yang serius. PBB telah membentuk suatu Unit Penyelidikan Khusus dan Pengadilan Khusus di Timor Timur untuk memproses para pelaku. Human Rights Watch mendesak lembaga-lembaga donor untuk menyediakan pelatihan dan dana bagi para hakim, jaksa dan penyelidik serta menyerukan kepada PBB untuk memperpanjang kewenangan Pengadilan Khusus dan Penyelidik di Dili.

Di bulan September 1999 Militer Indonesia dan milisi Timor Timur telah melakukan tindakan-tindakan pembunuhan, pembakaran dan pemaksaan terhadap penduduk untuk pindah setelah rakyat Timor Timur melakukan pemungutan suara untuk kemerdekaan dalam suatu referendum yang ditangani oleh PBB. Setelah hampir 25 tahun Indonesia menguasai Timor Timur diperkirakan sekitar 1,000 hingga 2000 warga sipil Timor Timur telah dibunuh beberapa bulan sebelum dan beberapa hari sesudah pemungutan suara. Sekitar 500,000 orang dipaksa pindah dari rumah-rumah mereka atau mengungsi.